
Untuk warga Betawi, mungkin tidak asing lagi dengan musik Tanjidor. Alat musik berukuran besar seperti terompet ini diduga berasal dari bangsa Portugis yang datang ke Betawi pada abad ke-14 sampai 16. Menurut sejarawan, dalam bahasa Portugis ada kata tanger. Kata tanger artinya memainkan alat musik. Memainkan alat musik ini dilakukan pada pawai militer atau upacara keagamaan. Kata tanger itu sendiri itu kemudian diucapkan menjadi Tanjidor.
Ahli musik dari Belanda bernama Erns Heinz berpendapat bahwa Tanjidor asalnya dari para budak yang ditugaskan memainkan musik untuk tuannya.
Sejarawan Bernama Dr. F. De Haan juga berpendapat orkes Tanjidor berasal dari orkes budak pada masa kompeni. Pada abad ke 18, kota Batavia dikelilingi benteng tinggi. Tidak banyak tanah lapang. Para pejabat tinggi kompeni membangun villa diluar kota batavia. Villa-villa itu terletak di Cililitan Besar, Pondok Gede, Tanjung Timur, Ciseeng dan Cimanggis.
Di villa-villa inilah terdapat budak. Budak-budak itu mempunyai keahlian, diantaranya ada yang mampu memainkan alat musik. Alat musik yang mereka mainkan antara lain : Klarinet, Piston, Trombon, Tenor, Bas Trompet, Bas Drum, Tambur, Simbal dan lain-lain. Para budak pemain musik bertugas menghibur tuannya saat pesta dan jamuan makan.
Perbudakan dihapuskan pada tahun 1860. Pemain musik yang semula menjadi budak menjadi orang merdeka. Karena keahlian bekas budak itu dalam bermain musik, maka mereka membentuk perkumpulan musik. Lahirlah perkumpulan musik yang dinamakan Tanjidor.
Musik Tanjidor sangat jelas dipengaruhi musik Belanda. Lagu-lagu yang dibawakan antara lain : Batalion, Kramton, Banamas, Delsi, Was Tak-tak, Welmes, Cakranegara. Judul lagi tersebut berbau Belanda meski dengan ucapan Betawi. Lagu-lagu Tanjidor bertambah dengan membawakan lagu Betawi. Dapat dimainkan lagu-lagu gambang kromong, seperti Jali-jali, Surilang Siring Kuning, Kincir-kincir, Cente Manis, Stambul dan Persi.
Tanjidor berkembang didaerah pinggiran Jakarta, Depok, Cibinong, Citeureup, Celeungsi, Jonggol, Parung, Bogor, Bekasi dan Tanggerang. Di daerah-daerah itu dahulu banyak terdapat perkebunan dan villa milik orang Belanda.
Pada tahun 1950-an orkes Tanjidor melakukan pertunjukan ngamen. Khususnya pada tahun baru Masehi dan tahun baru Cina (Imlek). Dengan telanjang kaki atau bersandal jepit, mereka ngamen dari rumah ke rumah. Lokasi yang dipilih biasanya kawasan elite, seperti Menteng, Salemba, Kebayoran Baru. Daerah yang penduduknya orang Belanda. Atau daerah lain yang penduduknya memeriahkan tahun baru. Pada tahun baru Cina biasanya Tanjidor ngamen lebih lama. Karena tahun baru Cina dirayakan sampai perayaan Capgomeh, yaitu pesta hari ke-15 Imlek.
Pada tahun 1954, Pemda Jakarta melarang Tanjidor ngamen ke dalam kota. Alasan pelarangan tidak diketahui. Pelarangan ngamen membuat seniman Tanjidor kecewa, sebab pendapatan mereka jadi berkurang. Mereka hanya menunggu panggilan untuk memeriahkan hajatan atau pesta rakyat.
0 comments
Post a Comment